Perihal Kopi, Bubuk Cabai, dan Tempat Tidur Setelah Seribu Hari

Kopi pagi ini rasanya pahit.

Memang kopi sudah sepantasnya pahit akibat interaksi antara senyawa kimia tertentu dengan bagian belakang lidahku. Namun dia, yang biasa bertugas membuat kopi untuk kami berdua setiap pagi di akhir pekan, seperti lupa bahwa aku lebih suka jika kopiku ditambahkan dua sendok gula pasir.

“Kok kopinya pahit?”

Entitas yang ditanya justru mengernyitkan dahi, memperlihatkan ekspresi heran dengan pertanyaan yang terdengar retoris baginya.

“Karena itu kopi, bukan susu?”

Anak TK juga tahu cairan hitam pekat dalam gelasku ini kopi, bukan susu. “Aku nggak bisa minum kopi tanpa gula, kamu lupa?”

Bahunya mendadak tegak, ditepuknya dahi yang sebelumnya berkerut mendengar pertanyaan yang kulontarkan. Cengiran tipis terlukis di wajah lonjongnya seraya ia mengambil cangkir milikku tanpa mengatakan apa-apa. Selanjutnya, tak ada permintaan maaf seperti yang biasa ia ucapkan jika berbuat kesalahan, kecil sekalipun. Tubuh tingginya begitu saja meninggalkanku menuju dapur.

“Nih, udah pakai gula.” Ucapnya beberapa saat kemudian dengan tangan menyodorkan cangkir kopiku.

Manis.

Terlalu manis.

Bagi seseorang yang sudah seribu hari membuatkanku kopi di akhir pekan, melupakan dua sendok gula dalam minumanku merupakan hal yang tidak biasa.

“Tadi pakai gula berapa sendok?”

“Berapa, ya? Lupa.” Jawabnya tanpa melirikku. Atensinya terfokus pada televisi yang semula menampilkan acara komedi kesukaan kami. Kini saluran televisi berganti dengan berita pagi yang menampilkan badai salju di salah satu negara empat musim. Dia yang mengganti salurannya. Iya, dia yang biasanya menertawakan satu dua tokoh acara komedi tersebut bersamaku.

Di sini udaranya hangat, tidak seperti negara yang baru saja masuk berita, mengingat kami tinggal di negara tropis. Namun kontras dengan keadaan yang sesungguhnya, atmosfir di ruangan ini begitu dingin seperti habis diterpa badai salju.


Sebagai seseorang yang tidak bisa makan pedas, cabai dan sejenisnya bukan barang wajib yang akan duduk manis di sudut rak dapur milikku.

Namun sejak seribu hari yang lalu, saat dia menjadi pemilik tetap sisi kanan tempat tidur di apartemen, bubuk cabai instan menjadi penghuni baru rak paling tinggi di dekat kulkas. Memang sengaja diletakkan di sana. Tubuhnya yang tinggi menjadi alasan mengapa hanya dirinya yang mampu mengakses si bubuk warna merah—selain karena cuma dia yang suka makanan pedas di sini.

Sudah seribu hari semenjak aku terbiasa memasukkan bubuk cabai dalam troli belanjaanku. Tapi entah sejak kapan, aku mulai lupa dan abai akan keberadaan bumbu tersebut. Tidak lagi aku periksa apakah botolnya masih penuh atau tidak sebelum pergi ke toserba langganan. Ada saja alasannya; badanku yang terlalu pendek untuk meraih botol bubuk cabai, aku yang lupa dan terburu-buru, sampai aku tidak punya alasan untuk membelinya.

Entahlah, mungkin aku sudah tidak peduli apakah ada yang suka makan pedas atau tidak di tempat ini.

Sesungguhnya aku sendiri tidak menyadari hal tersebut hingga si pegawai yang sudah hapal dengan belanjaanku bertanya saat aku membayar. Kutolak dengan halus penawarannya untuk mengambilkan barang tersebut hingga membuatnya keheranan.

“Udah nggak makan yang pedes-pedes lagi?”

Seandainya saja dia tahu bahwa aku tidak bisa makan pedas dan bubuk cabai yang biasa aku beli bukanlah untukku.


Sisi kanan tempat tidur kosong selama beberapa hari karena pemiliknya sedang pergi ke luar kota.

Ibuku pernah bilang, sisi tempat tidur yang biasa ditempati orang lain akan terasa dingin dan kosong saat tiba-tiba pemiliknya pergi. Namun yang kurasakan justru sebaliknya; sejuk dan lega. Seperti huruf berdempetan yang akhirnya diberi spasi, layaknya bisa bernapas kembali setelah sekian lama sesak.

Tak ada pesan darinya selama tiga hari belakangan, aku pun tidak memberinya kabar tentang anjing kesayangannya yang dititipkan pada tetangga. Benar, anjing kesayangannya kami titipkan pada tetangga sebelum dirinya pergi. Karena kami berdua tahu, aku tidak pernah suka anjing dan selama ini hanya sukarela merawatnya karena Brandy adalah kesayangan dia. Siapa yang tahu, bisa saja sekarang dia sedang melakukan panggilan video dengan tetangga kami untuk bertanya apakah Brandy sudah makan atau belum.

Aku tidak peduli.

Bodo amat.

Akhirnya, setelah seribu hari, kasur besar ini kembali jadi milikku seutuhnya.

Kuputar cincin yang melingkar di jari manisku sebelum memejamkan mata untuk beberapa jam ke depan. Entah sejak kapan aku berhenti peduli. Entah sejak kapan kami berhenti peduli dengan hubungan ini.

Ah, aku tidak merindukannya. Semoga ia pulang lebih lama.